Cerita Bumi Gaplek: Juru Kunci Demokrasi

 

(FOTO: BISA Magz - SMKN 1 Pogalan/Pigura-pigura foto Bupati Trenggalek dari masa ke masa dibawa dalam Kirab Pusaka HUT 824 Trenggalek 2018)


[Opini]

Golput mungkin kabar buruk. Tapi partisipasi penuh tentukah menjadi kabar baik?

Melansir dari jatimprov.go.id (18/12/2015), persentase partisipasi warga Trenggalek pada Pemilihan Bupati (Pilbub) Trenggalek 2015 silam mencapai 68%, meningkat 7% dibanding pilpres dan pileg 2014 yang hanya berkisar 61% saja. Angka yang cukup membanggakan. Kendati demikian, kuantitas partisipasi masyarakat saja tak cukup menjadi patokan suksesnya pilkada/pilbub digelar.

Idealnya, selain diikuti oleh jumlah pemilih yang banyak sesuai jumlah pemilih dalam DPT, DPTb dan DPK, penyelenggaraan pilkada yang berhasil juga dicirikan dengan suasana keberlangsungan pilkada yang kompetitif secara sehat, transparan, adil, dan akuntabel sehingga melahirkan pemimpin atau wakil rakyat yang kredibel dan kompeten. Dengan demikian bukan hanya kualitas dari kontestan yang wajib diperhitungkan, melainkan kualitas pemilih sebagai penentu keputusan pilkada juga perlu menjadi sorotan.


Cerita Kota Gaplek

Tak perlu berpaling muka, enggan mengaku bahwa meski sudah 75 tahun kita merdeka namun demokrasi di Indonesia masih belum juga dewasa. Mengambil contoh di lingkup kecil Kabupaten Trenggalek saja ramai masyarakat yang belum mendapatkan sosialisasi maupun pendidikan pemilih secara masif; populernya narasi pesimistis di kalangan masyarakat "Siapapun pemimpinnya, yang penting saya sekeluarga bisa makan dan terus bekerja" sebagai bentuk ungkapan ketidakpedulian dan ketidakpuasan terhadap pemerintah; pun masyarakat banyak yang berasumsi bahwa para partai politik (parpol) hanya menjalankan akal bulus mencari pamornya saja; hingga perilaku semarak menanti-nantikan tibanya serangan fajar berupa cuan maupun santunan yang dipolitisasi, sebab politik uang sudah tak lagi dianggap kejanggalan melainkan kewajiban yang oleh calon atau partai politik terkait perlu ditunaikan.

Kabupaten Trenggalek berada di pesisir selatan Jawa Timur, jauh dari hingar bingar perkotaan pusat ekonomi maupun pusat politik-pemerintahan. Hidup di pedesaan turut berpengaruh pada gaya literasi dan tingkat melek politik masyarakatnya. Bak Bu Tejo dan ibu-ibu dalam Film “Tilik”, gaya literasi yang buruk tercermin pada mudahnya masyarakat Trenggalek menerima kabar burung, lebih percaya dengan kata tetangga dibandingkan mengklarifikasi kebenaran kabar yang diterima. Ditambah lagi kurangnya pendidikan pemilih dan kepuasan atas kebijakan pemerintah yang dirasakan, membuat apatisme politik semakin nampak di tengah-tengah masyarakat. Kecenderungan untuk memilih calon berdasarkan ketokohannya (patronasme), serta fenomena ikut-ikutan memilih calon dengan suara-suara mayoritas menjadi bukti lemahnya pendirian masyarakat pemilih di daerah yang berslogan "meroket" ini. 

Taraf ekonomi masyarakat Trenggalek tergolong rendah. Roda ekonomi Trenggalek hanya ditopang 60% dari sektor agraris dan sisanya Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Sehingga kondisi ini turut melancarkan aksi pelaku politik dalam membeli suara dengan memanfaatkan kondisi ekonomi pemilih.


Pemilih Pemula, Potensial Namun Rawan

Basis pemilih yang dianggap berpotensi sekaligus paling rawan adalah pemilih pemula. Pemilih pemula yaitu masyarakat berusia berkisar 17-21 tahun atau yang sudah pernah kawin. Otomatis baru saja lulus persyaratan pemilih sehingga baru pertama kali menggunakan hak pilih.

Dianggap potensial sebab pemilih pemula memiliki kuantitas yang menjanjikan. Dalam setiap gelaran pemilu nasional, persentase jumlah pemilih pemula konsisten di angka 20-30%. Hal tersebut diaminkan oleh KPU Trenggalek yang menyatakan jumlah pemilih pemula di daerahnya pada pilkada 2018 saja mencapai kisaran 28 ribuan orang.

Masyarakat di basis pemilih pemula merupakan ABG (Anak Baru Gede), ada yang berstatus pelajar, mahasiswa, hingga pekerja. Meski sudah dikategorikan dalam usia produktif, realitasnya pola pikir (mindset) sebagai remaja masih kerap mendominasi, khususnya bagi pemilih pemula berstatus pelajar.

“Secara umum pemilih pemula pada kategori pelajar SMA/MA/SMK ini dicirikan oleh beberapa karakteristik sebagai berikut : (1) berusia antara 17-19 tahun; (2) tingkat literasi politik (melek politik) yang relatif masih rendah; dan (3) orientasi dan preferensi politiknya masih sangat kuat dipengaruhi oleh orang-orang yang menjadi rujukan pengetahuan, sikap dan perilaku seperti guru dan orang tua; sebagian dipengaruhi oleh peer group (kelompok sebaya, kelompok sepermainan); (4) perilaku politik sebagai pemilih (voting behavior) cenderung labil dan emosional” (Peningkatan Literasi Politik Pemilih Pemula Melalui Pendekatan Pembelajaran Kontekstual, FKIP UNTIRTA, 2017: 3). 

Dengan potensi yang dimiliki namun belum diikuti dengan kecakapan pengalaman dan pengetahuan, menjadikan pemilih pemula rentan ancaman. Belum kokohnya pendirian, kerap membuat pemilih pemula menjadi sasaran kampanye kotor dan kecurangan pemilu lainnya.

Pemilih pemula sejatinya adalah generasi milenial dan Z yang sudah lekat dengan teknologi dan digitalisasi. Memasukkan media sosial dalam gaya hidupnya secara tak sadar menciptakan adanya sirkulasi informasi terkini (current affair, viral) termasuk di dalamnya adalah isu politik yang diterimanya. Sayangnya tak semua informasi dan konten-konten di media sosial adalah konten faktual terlebih edukatif. Menjamurnya konten-konten mengarah hoaks dan berita palsu (fake news) bahkan disertai dengan nuansa persekusi dan intimidasi antar kelompok politik seakan terus menghantui para pemilih pemula yang kurang terbiasa mengklarifikasi.

Bahkan tak jarang akibat kebingungan politiknya, pemilih pemula pergi mencoblos ke TPS hanya untuk menggugurkan kewajibannya. 


Kaum Disabilitas, Marginal, dan Berkebutuhan Khusus Ada Tapi Seperti Ditiadakan.

Istimewa tak selalu diistimewakan. Kaum disabilitas tetap memiliki hak suara. Dengan keistimewaan mereka, rasanya kurang memungkinkan bila dituntut untuk menerima sosialisasi dan edukasi selayaknya masyarakat umum. Hal inilah yang kemudian menyebabkan porsi informasi pemilu yang diterima kaum disabilitas kalah jauh dari masyarakat umum. Sehingga tak mengherankan bila basis ini jarang mempunyai ketahanan. Yakni ketahanan untuk memperjuangkan hak pilihnya maupun ketanahan dari bujukan politik uang, black campaign dan sejenisnya.

Adanya diskriminasi sosial pada kaum-kaum marginal (orang-orang pinggiran, anak jalanan, pemulung, kaum waria) kian mempertebal kesenjangan di kehidupan bermasyarakat. Keadaan ini mendorong mereka untuk semakin menepi, merasa terhina, tak dipedulikan pemerintah. Sukarnya mencapai informasi dan edukasi demokrasi, tak ayal menggariskan apatisme politik di wajah mereka.

Sekitar 75% wilayah Trenggalek adalah pegunungan. Lokasi-lokasi terpencil tersebar hampir di seluruh kecamatan. Akibatnya warga dengan keterbatasan akses tersebut memiliki kecenderungan untuk memasrahkan hak pilihnya sebab merasa terasingkan. 

Peristiwa serupa juga terjadi pada para narapidana penghuni Lembaga Pemasyarakatan. Stigma “sedang dihukum” masih menjadi beban psikis yang dirasakan meski di dalam Lapas mereka tengah dibina dan diberdayakan. Ditambah lagi sulitnya akses informasi dari dan ke luar Lapas, mutlak menuntutnya menggantungkan hak pilih. 

Temuan-temuan ini tentu mengiris hati. Jangankan ketahanan politik, kesadaran dan pengetahuan elektoral saja masih langka di basis pemilih ini.


Rasionalitas, Harga Pemilih Berkualitas

31 Agustus 2020 Bumi Menak Sopal genap berusia 826 tahun. Sayangnya hal ini tak berbanding lurus dengan ekosistem demokrasinya. Terlebih masyarakat pemilih yang seharusnya menjadi sokoguru demokrasi di daerah ini justru jauh dari rasionalitas.

“Pemilih rasional (cerdas dan kritis) secara sederhana dapat digambarkan sebagai pemilih yang bukan saja memiliki pengetahuan dan kesadaran elektoral (kepemiluan), melainkan juga bebas dari berbagai bentuk intimidasi; memiliki daya tahan terhadap serangan atau bujukan transaksional yang tidak sehat dan melanggar aturan seperti money politics; serta memahami betul arti penting suara yang mereka miliki dan konsekuensi politik dari pilihannya di kemudian hari.” (Peningkatan Literasi Politik Pemilih Pemula Melalui Pendekatan Pembelajaran Kontekstual, FKIP UNTIRTA, 2017: 1-2).

Problematika pemilih irasional secara logis mengerucut pada aspek kesadaran dan kehirauan politik. Poin ini merupakan imbas dari lemahnya literasi demokrasi. Padahal dengan literasi demokrasi yang sempurna, warga negara akan berlaku rasional. Bukan hanya sadar dan hirau pada pentingnya pilkada, melainkan juga akan memiliki keingintahuan (curiosity) politik sehingga secara otomatis akan mengikuti perkembangan politik-pemerintahan, termasuk mengkritisi setiap kebijakan yang diciptakan pemerintah.

Wajah literasi demokrasi sebuah generasi dibentuk oleh pendidikan yang diterimanya mulai dari keluarga, sekolah, kelompok sepermainan, hingga sosialisasi yang diberikan KPU, Bawaslu, dan/atau pemerintah terkait.


Menilik Sosialisasi Gaya KPU

Sudah menjadi kebiasaan menjelang pesta demokrasi lima tahunan KPU pusat maupun daerah gencar melakukan sosialisasi. Inilah salah satu cara masyarakat mendapatkan edukasi guna meningkatkan literasi demokrasi seputar pemilu.

Dari waktu ke waktu, wujud sosialisasi pemilu kian beragam. Dari yang awalnya sebatas memukul kentongan maupun yang menggunakan pengeras suara di sepanjang jalan, kini partisipasi masyarakat pun dilibatkan melalui lomba-lomba yang digelar pemangku pemilu sekaligus sebagai penyemarak pemilu. Hal ini sesuai dengan Pasal 9 PKPU No. 10 Tahun 2018 tentang metode sosialisasi pemilu.

Sayangnya sosialisasi pemilu lazimnya hanya menginformasikan aspek-aspek teknis terkait pengetahuan dan kesadaran elektoral (pemilu) saja seperti kapan dan dimana pemilu dilaksanakan, siapa yang bisa menggunakan hak pilih, serta prosedur mencoblos di TPS. 

Padahal ada aspek-aspek substantif yang terlupa. Poin-poin tersebut terkait vitalnya suara yang diberikan, konsekuensi dari suara dan pilihan yang dicoblos, hingga identifikasi akibat dari menerima atau melakukan kecurangan dan transaksi politik (misal politik uang) pada pemilu. Secara logis aspek-aspek tersebut memancing daya pikir kritis pemilih, sehingga pemilih akan memiliki rasionalitas. Realitas berkata aspek substantif cenderung tak sukses ditumbuhkan dengan masif sebab tak dilakukan secara berkelanjutan (kontinu). Sehingga dapat disimpulkan cara ini belum efektif.


Literasi Demokrasi Bukan Konsep Melainkan Budaya

Solusi yang dimungkinkan potensial adalah membumikan literasi demokrasi lewat pendidikan pemilih. Dengan membudayakannya maka secara otomatis akan menciptakan adanya pendidikan pemilih yang berkesinambungan di tengah-tengah masyarakat.

Menurut Pasal 15 PKPU No. 15 Tahun 2018 sasaran pendidikan pemilih antara lain: (1) keluarga; (2)pemilih pemula; (3) pemilih muda; (4) pemilih perempuan; (5) pemilih penyandang disabilitas; (6) pemilih berkebutuhan khusus; (7) kaum marginal; (8) komunitas; (9) keagamaan; (10) relawan demokrasi; dan (11) warga internet (netizen).

Membumikan literasi demokrasi bisa diwujudkan dengan adanya sinergisitas antara KPU dan Bawaslu Trenggalek, dinas-dinas terkait serta seluruh lapisan instansi pendidikan untuk melibatkan pendidikan pemilih dalam membangun karakter siswa. Misalnya dengan memasukkan pendidikan pemilih berbasis pembelajaran kontekstual (konsep pengaitan antara materi dengan situasi riil kehidupan sehari-hari) dalam kurikulum Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Sehingga basis pemilih pemula (pelajar) tak hanya tahu melainkan juga paham.

Alternatif berikutnya adalah perintisan atau pemberdayaan komunitas/relawan/pegiat demokrasi (basis relawan demokrasi). Pegiat-pegiat ini merupakan orang-orang yang sadar dan terpanggil untuk peduli pada literasi demokrasi sesamanya. Keberadaan pegiat-pegiat di pihak ini sangat strategis sebab mereka tahu, terlibat, dan merasakan fakta (persoalan) di lapangan. Dengan bentuk komunitas maka konsistensi dan solidaritas mudah dipupuk.

KPU perlu mengoptimalkan keberadaan komunitas. Komunitas perlu bergerak menyapa masyarakat, tidak hanya sebatas menduduki kursi forum diskusi di Rumah Pintar Pemilu (RPP). Dengan basis komunitas memungkinkan mereka dapat semakin melebarkan langkah membumikan literasi politik hingga ke semua basis pemilih. Misalnya: (1) menggandeng karang taruna (basis pemilih muda) untuk mengedukasi masyarakat desa hingga pelosok (basis kaum berkebutuhan khusus); (2) mengedukasi dengan melakukan pendekatan psikologis pada kaum disabilitas (basis kaum disabilitas) dan kaum marginal (basis kaum marginal) seperti anak jalanan, orang-orang pinggiran dan kaum waria; (3) menjalin hubungan baik dengan komunitas lain sebagai modal lancarnya mengedukasi pemilih (basis komunitas); (4) berkolaborasi dengan organisasi keagamaan dalam rangka menyelaraskan pemahaman bahwa demokrasi juga bagian dari ajaran agama (basis keagamaan); (5) mengedukasi warganet lewat konten-konten informatif dan edukatif seputar literasi politik, sekaligus sebagai media klarifikasi dan anti hoaks, termasuk membuat terobosan baru seperti aplikasi khusus (basis netizen); 

KPU juga perlu berkolaborasi dengan instansi pemerintah tertentu guna menyediakan akses bagi komunitas. Contohnya untuk menjembatani komunitas memenuhi hak para narapidana penghuni Lembaga Pemasyarakatan (basis kaum berkebutuhan khusus) atas edukasi politik, KPU perlu berkolaborasi dengan instansi terkait.

Dapat disimpulkan pemerintah (KPU) perlu hadir sebagai fasilitator, penaung dan pendukung komunitas tersebut. "Pendukung" di sini bukan bermaksud hanya sebagai pemberi dukungan moral dan mental, melainkan juga ikut memberikan sumbangsih dana operasional. Karena sudah menjadi rahasia umum bahwa anggaran dana menjadi isu krusial penghambat langkah komunitas. Lagipula hadirnya komunitas ini membantu kewajiban KPU, sudah sepatutnya KPU kelak ikut serta membiayai.

Masyarakat yang sudah terjangkau komunitas selain diberikan sosialisasi, juga turut diberi pembimbingan. Dengan ini masyarakat diajak aktif mencerna setiap fenomena politik yang terjadi di sekitar atau bahkan mereka alami kemudian mengomunikasikannya bersama komunitas. Secara sederhana dengan siklus demikian lambat laun akan tercipta keberlanjutan pada pendidikan pemilih, sehingga pembumian literasi demokrasi mampu diwujudkan.

Dengan sasaran seluruh lapisan masyarakat menuntut KPU, Bawaslu, komunitas dan pihak-pihak terkait terjun langsung ke masyarakat serta lebih peka terhadap perkembangan teknologi. Sebab masyarakat, khususnya warga Trenggalek sebagian masih berbasis kehidupan tradisional sebagian lagi sudah menggayahidupkan teknologi.

Sayangnya segala upaya tersebut akan berbuntut simalakama karena saat ini pandemi corona membekukan seluruh aktivitas dunia termasuk Indonesia. Hingga Agustus 2020 saja jumlah kasus positif COVID-19 di Kabupaten Trenggalek sudah mencapai angka ratusan. Bupati Trenggalek, Mochammad Nur Arifin pun sudah menyatakan adanya transmisi lokal virus di daerah ini sejak Juli lalu. 

Dengan kondisi seperti ini virtualisasi di segala aktivitas menjadi opsi utama. Peran komunitas poin ke (5), yakni mengedukasi lewat teknologi perlu diprioritaskan, pula masyarakat mayoritas beralih ke aktivitas virtual saat satunya melalui media sosial. Kendati demikian Kabupaten Trenggalek merupakan daerah pedesaan dan pegunungan dengan segala keterbatasan di atas, termasuk koneksi internet. Oleh karena itu, menyapa masyarakat dirasa tetap perlu dilaksanakan dengan mengutamakan protokol kesehatan. Urgensi ini mutlak dilakukan sembari menunggu pulihnya keadaan. 

Upaya pembumian literasi demokrasi tak akan berhasil tanpa adanya respons positif dari masyarakat. Dalam persoalan ini aspek individual (karakter) masing-masing oranglah yang berperan.

Pembentukan karakter ini sesungguhnya sangat dipengaruhi peran keluarga. Adanya pandemi corona membuat semua orang kembali ke rumah, quality time bersama keluarga pun kian panjang. Momentum seperti inilah yang selayaknya difaedahkan para orang tua terutama ibu (basis pemilih perempuan) supaya mendayagunakan waktu di rumahnya untuk berliterasi demokrasi sembari mengenalkan literasi demokrasi sejak dini kepada putra-putrinya (basis keluarga) sebagai langkah awal pembudayaan literasi demokrasi yang akan membentuk wajah generasi emas Kota Gaplek.

Tak seperti juru kunci cagar budaya yang hanya merawat dan melestarikan pusaka yang dititipkan kepadanya,  juru kunci demokrasi tentu sangat berhak untuk menentukan masa depan pusakanya.

(*/dnj)



*)Tulisan ini murni perspektif penulis dalam menyampaikan keberpihakannya.

*)Penulis masih dalam tahap belajar, sehingga komentar dan kritik yang konstruktif dari pembaca tentu diharapkan.




Komentar

  1. Wih keren artikelnya, diluar ekspektasi desain nya yang dipilih juga pas enak dibaca 😅 keep writing!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah berkunjung, sukses juga untukmu!

      Hapus
  2. Part Cerita Gaplek paragraf 1, aku setuju banget. Bagi masyarakat tuh, siapapun pemimpin mereka gak begitu pengaruh juga, karena kehidupan mereka juga tidak ikut berubah. Yang penting kebijakannya cocok sama mereka, selebihnya yah udah gitu aja. Ya gak sih?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yes, kan marak juga tuh yg dikatain "cuma obral janji". Itu bukti kekecewaan mereka krn diPHPin doang waktu kampanye. Saking seringnya digituin jadi warga jadi bosen, gak peduli, apatis. Itu sebenarnya yg jadi PR kita semua, nyeimbangin kualitas baik pemilih maupun yg dipilih.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer